Ternyata Kamu Bodoh!

Ternyata Kamu Bodoh!

Photo by Milad Fakurian / Unsplash

"Punya banyak pengalaman, tapi kenapa masih buat kesalahan yang sama?"
"Kamu mengerti konsekuensinya, tapi kenapa tetap terus dilakukan?"
"Kamu sering memberi saran, tapi kenapa sulit mengikuti saran sendiri?"
"Kalau paham apa yang bikin tenang, kenapa terus cari masalah?"
"Kalau tahu waktu itu berharga, kenapa banyak disia-siakan?"
"Kalau tahu sukses butuh kerja keras, kenapa masih malas berusaha?"

Pertanyaan retorik diatas ingin menggugah kesadaran dan introspeksi terhadap perilaku atau pola pikir kita saya yang kurang efektif. Pernah nggak, kita merasa paling tahu hanya karena pernah sekali membaca artikel atau dengar teman cerita? Ibarat orang yang cuma kenal setitik, tapi sudah merasa menguasai lautan. Padahal, yang sebenarnya kita tahu mungkin cuma permukaan, dan di baliknya tersimpan kedalaman yang belum kita sentuh. Mungkin, kebodohan terbesar kita adalah tidak sadar bahwa kita tidak tahu seberapa banyak yang tidak kita tahu.

Ketika Kita Melebih-lebihkan Kemampuan Diri

Efek Dunning-Kruger adalah bias kognitif yang terjadi ketika seseorang yang kurang kompeten dalam suatu bidang justru melebih-lebihkan kemampuannya. Ini adalah fenomena psikologis yang menunjukkan bahwa orang yang paling tidak kompeten dalam suatu bidang seringkali tidak menyadari ketidaktahuan mereka, bahkan mereka merasa lebih tahu daripada mereka sebenarnya.

Hal ini mungkin menjelaskan mengapa terkadang saya, atau bahkan teman-teman dan kolega, tampak sangat percaya diri meski tidak tahu apa-apa. Dunning-Kruger mengingatkan kita bahwa penilaian yang akurat terhadap kemampuan kita membutuhkan pemahaman dan keterampilan yang lebih mendalam. Orang yang paling tidak kompeten tidak hanya tidak tahu, tetapi mereka juga tidak bisa menilai ketidakmampuan mereka sendiri.

Kenapa Kita Mengabaikan Kebodohan Kita Sendiri?

Jawabannya sederhana: Ego.

Mengakui "Saya tidak sadar bahwa saya tidak tahu" dapat merendahkan ego seseorang, memberi perasaan yang tidak menyenangkan. Saya mengalaminya, seringkali merasa telah menguasai segala sesuatu dalam suatu area, namun ketika dihadapkan pada kenyataan, kita sering kali terkejut. Dan untuk sekadar mengakuinya cukup sulit.

Seseorang yang benar-benar tidak tahu seringkali enggan untuk introspeksi. Mereka bisa sangat keras kepala, berpegang teguh pada pendapat mereka, meskipun pendapat itu tidak rasional.

(p.s faktanya saya kepikiran membuat blog post ini berarti saya mulai introspeksi. Cheers!)

Mengapa Kita Tetap Melakukan Kebodohan?

Terkadang, meskipun kita tahu lebih baik, kita tetap melakukan hal-hal yang tidak rasional. Ini bisa dijelaskan oleh beberapa bias kognitif yang mempengaruhi cara kita berpikir:

  1. Sunk Cost Fallacy: Kita terus melanjutkan sesuatu yang kita tidak nikmati hanya karena sudah menginvestasikan waktu atau uang di dalamnya, berusaha agar investasi itu "bernilai."
  2. Deindividuation: Ketika berada dalam suatu kelompok/organisasi, kita cenderung kehilangan identitas diri dan mudah terpengaruh oleh mentalitas kerumunan.
  3. The Misattribution of Arousal: Faktor lingkungan seringkali memiliki dampak yang lebih besar pada emosi kita dibandigkan dengan orang yang ada di depan kita.

Mengetahui bias-bias kognitif ini adalah langkah pertama. Ketika kita mengenali bias yang ada dalam diri kita, kita bisa lebih terbuka untuk berdiskusi dan mendapatkan wawasan baru tentang perilaku kita sendiri. Jangan hanya berpegang pada pandangan rasional yang kaku, tetapi terbuka untuk memeriksa bias-bias yang mungkin memengaruhi cara kita berpikir.

Mempunyai rasa empati juga menjadi sangat penting. Orang yang terlalu mementingkan diri sendiri seringkali kurang tertarik dengan pandangan orang lain. Untuk itu, perlu memperoleh perspektif hidup yang lebih membumi dan belajar untuk lebih mengerti perasaan orang lain. Ini adalah obat ampuh untuk mengatasi kebodohan.

Tertipu oleh Ilusi Superioritas

Penting untuk tidak terjebak dalam ilusi superioritas. Belajar untuk mengevaluasi kompetensi kita dengan jujur dan akurat. Semakin cerdas kita, semakin bisa melihat kerumitan di balik kehidupan yang tampak mudah dan aman. Kita bisa melihat risiko, kerugian, dan bahkan manipulasi yang tersembunyi di balik banyak hal yang tampaknya baik bagi kita atau masyarakat.

Orang yang sangat pintar sering kali melihat kehidupan dengan kacamata yang lebih skeptis, dan kadang-kadang, mereka menunjukkan kecerdasan mereka melalui sinisme. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menjadi terlalu sinis atau terlalu kritis terhadap dunia.

Jika kamu pernah melihat saya bertindak bodoh, itu adalah bagian dari proses saya. Saya masih belajar, masih berproses, dan yang paling penting, terus introspeksi untuk menjadi lebih baik.

"Proses ini belum selesai. Cheers!"